Allah memberikan keistimewaan kepada manusia berupa akal pikiran sehingga ia mudah membaca perkembangan zaman dan mampu beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya serta mampu merespon perubahan berbekal ilmu dan pengalaman orang-orang sebelumnya.
Izzudin bin Abdussalam dalam Qawaid al-Ahkam fi Mashalih al-Anammenjelaskan bahwa agar urusan duniawi dapat berjalan dengan baik serta terhindar dari segala macam keburukan maka semua dapat dipelajari, diteliti dan diamati sehingga menjadi sebuah acuan dalam melangkah mengahadapi masa depan.
Dalam KBBI kata “firasat” berarti keadaan yang dirasakan (diketahui) akan terjadi sesudah melihat gelagat. Sedangkan menurut al-Jurjani dalam at-Ta’rifat menjelaskan bahwa firasat adalah membuka tabir sehingga mendapatkan keyakinan dan kecakapan mengetahui sesuatu yang akan terjadi.
Imam Qusyairi dalam Risalahnya mengutip Syah al-Kirmani yang tajam firasatnya pernah berkata:
من غض بصره عن المحارم، وأمسك نفسه عن الشهوات، وعمر باطنه بدوام المراقبة، وظاهره باتباع السنة، وتعود أكل الحلال؛ لم تخطىء فراسته.
Barangsiapa yang menundukkan pandangannya dari hal yang diharamkan dan menjaga diri dari hawa nafsu serta selalu menyibukkan batinnya dengan selalu merasa diawasi oleh Allah, amalan lahirnya dengan mengikuti Sunnah Nabi, dan membiasakan mengkonsomsi makanan yang halal maka firasatnya tak akan meleset atau salah.
Dari sini dapat diketahui bahwa bila seseorang telah mengamalkan beberapa hal diatas maka akan dimudahkan dalam memahami kehidupan serta mudah menggali hikmah yang terkandung di alam semesta ini sehingga dengan mudah membaca perkembangan zaman yang menjadi teka-teki semua orang.