foto:donibastian.com |
Umat
Islam dari dulu selalu diuji dalam urusan politik untuk mendapatkan kekuasaan,
serta semua mengeklaim paling pantas dan
paling berhak dalam menduduki jabatan seorang pemimpin. Ketika Nabi Muhammad
meninggal dunia, sahabat anshor berkumpul di Bani Saidah untuk membai’at Saad
bin Ubadah, mendengar kabar ini, Abu Bakar dan Umar bin Khottab langsung
mendatangi tempat itu, untuk menjaga persatuan antara sahabat Anshor dan
Muhajirin, walau di sana terjadi debat kusir yang sangat sengit tentang siapa
yang berhak menjadi pemimpin Negara Pasca wafatnya Nabi Muhammad. Akhirnya
terpilihlah sahabat Abu Bakar sebagai Kholifah.
Pada
hakikatnya, di dalam diri manusia sudah
terbiasa berpolitik, ia selalu berusaha mengatur siasat, adu strategi dalam
menghadapi pengaruh Nafsu, godaan Syaitan, maupun bisikan dari luar, maka Akal manusia sebagai penentu kemenangan atau
kekalahan yang ia akan rasakan. Bila Nafsunya kalah, maka ia akan menang, serta
akan beruntung dunia sampai akhirat. Hal itu gambaran kecil dalam dirinya
sebagai individu bagian dari masyarakat, yang harus siap memimpin dan dipimpin.
Sering
terjadi perselisihan, pertengkaran bahkan kerusuhan dimasyarakat, disebabkan
gara-gara beda pilihan, beda partai, beda golongan, bahkan saling
bunuh-membunuh akibat imbas uforia politik musiman, yang sangat diuntungkan
adalah para elite politik, ketika terpilih menjadi pemimpin, atau anggota Dewan
, mereka tidak akan ingat akan para pendukungnya. Maka yang sangat dirugikan
adalah para pendukung ditingkatan bawah, banyak dari mereka menjadi renggang
dalam hubungan keluarga, dengan tetangga, bahkan kepada orang yang mereka
sayangi, dan hormati menjadi kurang harmonis lagi. Padahal Allah menjadikan
manusia, ada yang laki-laki dan perempuan untuk saling kenal mengenal agar
terjalin dalam satu ikatan persaudaraan, maupun hubungan sesama manusia. Hal
ini sesuai dengan penjelasan Al Qur’an Surat yang berbunyi:
يَاأَيُّهَا
النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا
وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ
اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ (13)
Artinya:
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya
kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu
disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengena
Menurut
Imam Ibnu Kasir dalam Tafsirnya, dalam ayat ini Allah memberi kabar kepada manusia bahwa dirinya berasal dari
Nabi Adam, kemudian Allah menciptakan pasangannya, yang dari mereka tercipta
bangsa-bangsa dan berbagai suku, tak ada yang perlu dibanggakan secara materi,
yang dilihat Allah hanya ketakwaan sesorang, yaitu berupa ketaatan kepada Allah
dan Rasulnya. Sedangkan menurut Imam Ar Razi dalam Tafsirnya menjelaskan bahwa
tujuan dari saling kenal mengenal adalah agar saling membantu antar sesama
manusia, bukan untuk berbangga dengan nasab, atau untuk permusuhan.
Dari
penjelasan diatas, terdapat anjuran untuk saling menyapa, kenal-mengenal agar
terjadi hubungan yang harmonis, serta menjauhkan keretakan disebabkan perbedaan
dalam urusan politik, atau kepentingan sesaat, yang memicu konflik horisontal,
bahkan seringkali nyawa pun melayang. Maka dari itu, manusia jangan sampai merasa
paling benar, lebih baik dari orang lain, atau merasa paling hebat sehingga
menghalalkan segala cara demi memuaskan ambisi pribadinya dengan mengorbankan
banyak orang yang tak berdosa, serta mereka akan merasakan nestapa yang
berkepanjangan.
Syeh
Abdul Qodir Al Jailani pernah berpesan agar manusia jangan sampai membenci
seseorang dengan dasar hawa nafsu sesaat, tetapi harus dilihat dari
perilakunya, sesuai dengan ajaran Agama atau tidak, sehingga manusia tak mudah
ditumpangi kepentingan sesaat.
Oleh:
Moh Afif Sholeh
Gang
Mujair VI, 1 Mei 2018