foto: Cidahu, Sukabumi |
Kita sering mendengar orang berkata dengan
mudahnya:”kalau beramal itu harus ikhlas, agar amalnya diterima oleh Allah”.
Padahal orang yang mengatakan demikian belum tentu ia masuk kategori kedalam orang-orang
yang ikhlas. Memang betul kata ”Ikhlas” mudah diucapkan, namun susah
dipraktekkan. Apa sebetulnya hakikat dari Ikhlas itu sendiri?
Dalam kitab Mu’jam Al Wasit, kata Ikhlas
berasal kata خَلَص يخلص خلوصًا
yang berarti jernih atau murni, sedangkan menurut Al Jurjani dalam Atta’rifat
menjelaskan bahwa ikhlas adalah tak mencari pujian dalam beramal.
Sedangkan Imam Qusyairi
dalam kitab Arrisalah Al Qusyairiyah mengutip penjelasan gurunya yang
menyatakan bahwa ikhlas adalah mengesakan Allah dalam ketaatan dengan tujuan
untuk mendekatkan diri kepadaNya, tanpa ada embel-embel kepentingan lain yang
berkaitan dengan manusia, atau ingin mencari pujian, popularitas.
Menurut Dzun Nun Al
Misri, ada tiga ciri orang yang ikhlas dalam beramal, yaitu:
Pertama, ketika dipuji atau dihina, sikapya sama saja,
tak ada perbedaan dalam prilakunya.
Kedua, melupakan amalan yang
telah ia lakukan, ia tak mau mengingatnya lagi, seperti ketika telah memberi shadaqah
atau bantuan kepada orang lain, maka ia tak mengungkitnya lagi, agar amalnya
tak sirna gara-gara Al Mannu(menyebut kembali amalan yang telah dikerjakan atau
diberikan).
Ketiga, melupakan pahala amal
akhirat, sehingga ia berusaha beramal sebanya-banyaknya, karena selalu merasa
kurang, serta tak pernah membanggakan amalnya.
Menurut pendapat Imam Fudhail
bin Iyadh: meninggalkan amalan karena manusia maka itu riya’(pamer) namanya,
sedangkan beramal dengan tujuan agar dipuji manusia, maka itu masuk kategori
Syirik, sedangkan Ikhlas yaitu ketika Allah menyelamatkanmu dari keduanya.
Begitu juga Sahal bin Abdillah saat ditanya tentang sesuatu yang dirasa nafsu
paling berat, beliau langsung menjawab dengan simple, yaitu ikhlas,
karena tak ada kedudukan maqam yang lebih tinggi dari itu. Berbeda dengan
pendapat Hudzaifah Al Mura’syi, yang menyatakan bahwa ketika prilaku, perbuatan
seorang hamba sudah sama lahir dan batinnya, baik di kala sendirian atau dalam
suasana keramaian, maka kondisi seperti ini dinamakan ikhlas.
Dari penjelasan di
atas, untuk mecapai tingkatan(maqam) ikhlas dibutuhkan keseriusan, keyakinan
yang tinggi, yang selalu dilatih, dipupuk tiap saat, agar tak kendor, dan
teledor dari tujuan akhir manusia, yaitu bahwa Shalat, ibadah, hidup dan mati
hanya tertuju untuk Allah sebagai Dzat yang meciptakan segalanya, serta yang
patut disembah, dan ditaati. Ada beberapa Hikmah yang terkandung dalam Ikhlas,
diantaranya:
Orang yang telah
mencapai derajat keikhlasan yang tinggi, Iblis tak mampu meggodanya, apalagi
sampai menyesatkanya, hal ini seperti keterangan dalam Surat Al Hijr 39-40 yang
berbunyi:
قَالَ رَبِّ بِمَا أَغْوَيْتَنِي
لَأُزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِي الْأَرْضِ وَلَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ (39) إِلَّا
عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ (40
(
Artinya: Iblis berkata: "Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau
telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang
baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka
semuanya,(39) kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara
mereka".(40)
Imam Thobari dalam Tafsirnya menjelaskan bahwa iblis bersumpah akan menggoda, dan
menyesatkan semua manusia dari jalan kebenaran (haq), ia merasa berat, tak
mampu menggoda orang-orag yang ikhlas dalam segala amal perbuatannya. Imam
Qurtubi megutip hikayat(cerita) dari Abu Tsumamah yang mengkisahkan bahwa
golongan Hawariyyin(para pengikut Nabi Isa yang beriman, dan membenarkan, dan
mengikuti ajarannya) bertanya kepada Nabi Isa tentang tipe orang-orang yang
ikhlas dalam beramal, Nabi Isa menjawab: yaitu orang yang beramal, berbuat
kebaikan, tapi ia tak mencari pujian, popularitas dari manusia.
Orang yang ikhlas dalam beramal akan bertemu langsug
dengan Allah, seperti penjelasan di Surat Al Kahfi Ayat 110:
قُلْ إِنَّمَا أَنَا
بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوحَىٰ إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ
فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا
يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
(110)
Artinya: Katakanlah:
Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku:
"Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa".
Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan
amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat
kepada Tuhannya".(110)
Imam Ibnu Kasir menjelaskan bahwa
ada 2 syarat amal kebaikan akan diterima oleh Allah, pertama: amal perbuatan
yang dilakukan harus sesuai tuntunan Syariat Islam. Kedua, amal perbuatannya
harus Ikhlas karena Allah, bukan untuk kepentingan sesaat.
Semoga kita selalu dituntun oleh Allah agar selalu
mendapat hidayah, dan dijadikan hamba yang ikhlas dalam beramal.
OLEH: Moh Afif Sholeh
Lorong Senyap, 07 Mei 2018