Puncak Songolikur, Kudus |
Watak Manusia tak selamanya lurus, sesuai dengan
aturan-aturan yang berlaku, ini disebabkan banyak perubahan dalam suatu tempat,
maupun perubahan waktu, atau kepentingan lain sehingga mampu merubah tatanan
kehidupan, lantas manusia sebagai makhluk yang sering pelupa, penting adanya
orang yang mengingatkan, baik dari keluarga, baik suami, istri, anaknya atau
orang lain dengan cara yang santun dan bijaksana, agar sampai orang yang
dituju.
Di dalam Al Qur’an banyak perumpamaan maupun kisah
yang sangat inspiratif sebagai petunjuk atau hikmah bagi manusia, terutama
dalam menghadapi perubahan zaman yang selalu berubah dengan cepatnya. Salah
satunya adalah kisah hubungan seorang
anak dengan orang tuanya yang berbeda keyakinan. Yaitu seperti Nabi Ibrahim
dengan orang tuanya yang berisi tentang petuah yang bijaksana dari anaknya,
yang langsung disanggah oleh ayahnya yang bernama Azar sebagai penyembah patung
yang dibuatnya sendiri olehnya. Kisah ini tertuang dalam Surat Maryam, Ayat 42-47:
إِذْ قَالَ لِأَبِيهِ يَا أَبَتِ لِمَ تَعْبُدُ مَا
لَا يَسْمَعُ وَلَا يُبْصِرُ وَلَا يُغْنِي عَنكَ شَيْئًا (42) يَا أَبَتِ
إِنِّي قَدْ جَاءَنِي مِنَ الْعِلْمِ مَا لَمْ يَأْتِكَ فَاتَّبِعْنِي أَهْدِكَ
صِرَاطًا سَوِيًّا (43) يَا أَبَتِ
لَا تَعْبُدِ الشَّيْطَانَ ۖ إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ
لِلرَّحْمَٰنِ عَصِيًّا (44
) يَا أَبَتِ
إِنِّي أَخَافُ أَن يَمَسَّكَ عَذَابٌ مِّنَ الرَّحْمَٰنِ فَتَكُونَ لِلشَّيْطَانِ
وَلِيًّا (45) قَالَ
أَرَاغِبٌ أَنتَ عَنْ آلِهَتِي يَا إِبْرَاهِيمُ ۖ لَئِن لَّمْ تَنتَهِ
لَأَرْجُمَنَّكَ ۖ
وَاهْجُرْنِي مَلِيًّا (46)قَالَ
سَلَامٌ عَلَيْكَ ۖ
سَأَسْتَغْفِرُ لَكَ رَبِّي ۖ إِنَّهُ كَانَ بِي حَفِيًّا (47)
Artinya: Ingatlah ketika ia
berkata kepada bapaknya; "Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu
yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikitpun? (42)
Wahai bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebahagian ilmu pengetahuan
yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan
kepadamu jalan yang lurus. (43)Wahai bapakku, janganlah kamu menyembah syaitan.
Sesungguhnya syaitan itu durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pemurah. (44)Wahai
bapakku, sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa azab dari Tuhan Yang
Maha Pemurah, maka kamu menjadi kawan bagi syaitan".(45) Berkata bapaknya:
"Bencikah kamu kepada tuhan-tuhanku, hai Ibrahim? Jika kamu tidak
berhenti, maka niscaya kamu akan kurajam, dan tinggalkanlah aku buat waktu yang
lama".(46)Berkata Ibrahim: "Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu,
aku akan memintakan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku.
(47)
Ayat
diatas menjelaskan tentang dialog Nabi
Ibrahim mengajak ayahnya yang bernama Azar, untuk mengikuti kebenaran ajarannya
yang sesuai dengan
logika manusia, dan dengan cara
yang sopan, tanpa menggurui. Dalam Tafsir Thobari disebutkan, bahwa Nabi
Ibrahim menasehati orang tuanya dengan dialektika penuh hormat yang ia
tunjukkan kepadanya, dengan menanyakan alasan, kenapa tuhan yang tak mendengar
keinginanmu, lagi tak mampu mendatangkan manfaat, atau membuat kerusakan,
kenapa engkau sembah?
Pendek cerita, Ibnu Kasir dalam Tafsirnya menjelaskan
bahwa Ayah Nabi Ibrahim tak mau menerima nasehat dari anaknya, malah akan mengancaman
secara fisik, dan mengusir Nabi Ibrahim, jika tak mau menyembah berhala itu, dan
masih mencaci maki, mencela sesembahan. Mendengar
perkataan orang tuanya, Nabi Ibrahim tak lantas marah, tapi selalu menunjukan
prilaku santun kepada orang tuanya, dengan selalu berdoa agar orang tuanya
mendapatkan keselamatan.
Dari penjelasan diatas, dapat diambil kesimpulan,
bahwa seorang anak boleh menasehati orang tuanya dengan cara yang sopan, da
bijaksana bila tak sesuai dengan ajaran Agama, karena pada dasarnya, taat
kepada orang tua wajib hukumnya, tapi kalau tidak bertentangan dengan Aturan
Agama, atau untuk durhaka kepada Allah dan RasulNya, maka dalam hal ini, seseorang
tak wajib mengikutinya, seperti keterangan dalam Hadis yang berbunyi:
.
لاَ طَاعَةَ فِيْ مَعْصِيَةِ اللهِ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِيْ اْلمَعْرُوْفِ) رَوَاهُ
البُخَارِيُّ)
Artinya: tidak boleh ada ketaatan untuk durhaka kepada
Allah, tapi ketaatan hanya dalam kebaikan.(H.R Bukhori)
Dalam kitab At Tanwir, Syarah Al Jami’ Al Shogir,
disebutkan bahwa tidak diperbolehkan taat kepada pemimpin, orang tua atau orang
lain dengan tujuan untuk durhaka kepada Allah, karena ketaatan kepada Allah
dengan tidak mendurhakainya lebih harus didahulukan. Semoga kita menjadi orang
yang bisa menasehati diri sendiri, dan orang lain.
Oleh: Moh Afif Sholeh
Lorong Senyap, 08 Mei 2018